Langit sore itu seperti kanvas raksasa. Di ujung cakrawala, terbentang busur warna-warni—pelangi yang lahir dari pertemuan hujan dan matahari. Aku berdiri di tepi pantai, menatapnya dengan dada bergetar. Entah kenapa, setiap kali pelangi muncul, ada suara yang berbisik di dalam kepalaku, memanggilku untuk datang ke sana.
"Ke sanalah… tempatmu berasal."
Aku tak tahu apa maksudnya. Tapi hari itu, aku memutuskan untuk menuruti panggilan itu. Aku menyiapkan perahu kecil warisan ayahku, mengembangkan layarnya, dan berlayar ke arah busur hujan itu—ke arah yang katanya menuju gerbang surga.
Ombak memantulkan cahaya jingga, dan angin beraroma laut menampar wajahku lembut. Aku merasa sedang kembali, bukan pergi. Seolah laut ini adalah ibuku yang menyambut anaknya pulang setelah sekian lama tersesat.
“Samudra ibuku…” gumamku pelan, saat perahu bergoyang lembut di antara gelombang. Aku merasa harus menghunjamkan sauhku—tidak ke dasar laut, tapi ke rahim bumi, tempat semua kehidupan bermula. Di sanalah aku ingin berlabuh, di tempat di mana warna-warni kehidupan berpadu jadi satu.
Malam tiba, tapi pelangi itu tidak hilang. Ia tetap melengkung di langit, seperti jembatan cahaya yang menuntunku. Dalam diam, aku mengerti bahwa busur hujan itu bukan sekadar fenomena alam—ia adalah janji. Janji antara manusia dan alam, antara anak dan ibu, antara hidup dan asalnya.
Aku melihat wajah-wajah moyangku di antara gelombang: para pelaut, penanam padi, penjaga api, dan perempuan tua yang meninabobokan bumi. Mereka tersenyum, seolah berkata bahwa aku sedang melanjutkan mimpi mereka.
Di bawah busur hujan itu, aku sadar: semua manusia hanyalah penumpang yang menitipkan mimpinya di cakrawala. Kita berlayar membawa harapan, dan pada akhirnya, semuanya akan kembali menyatu—warna-warni menjadi satu, di dalam rahim tempat segalanya bermula.
Ketika perahuku akhirnya berhenti, aku menatap ke langit untuk terakhir kalinya. Busur hujan itu kini tepat di atasku, begitu dekat hingga seolah bisa kusentuh. Aku tersenyum.
"Kini aku pulang."
Lagu ini ditulis oleh Gede Robi Supriyanto.
Navicula - Busur Hujan (Lirik)
Busur hujan di cakrawala
Kau rayu hatiku menuju ke sana
Busur hujan di cakrawala
Mahakarya jembatan ke gerbang surga
Kukembangkan layarku
Arungi samudra ibuku
Kan kuhunjam sauhku
Ke dalam rahimmu
Warna-warni kita menjadi satu
Di dalam rahimmu
Busur hujan di cakrawala
Manusia titipkan mimpinya di sana
Busur hujan di cakrawala
Ada harta di kakinya menunggu di sana
Kukembangkan layarku
Arungi samudra moyangku
Kan kuhunjam sauhku
Ke dalam rahimmu
Warna-warni kita menjadi satu
Di dalam rahimmu
Warna-warni kita menjadi satu







0 komentar:
Post a Comment