Azan subuh baru saja usai. Udara masih basah oleh embun, dan dari jendela kamar yang sedikit terbuka, cahaya matahari pelan-pelan menyusup. Di atas sajadah yang mulai pudar warnanya, seorang pria duduk dengan mata tertunduk. Namanya Arif. Sudah lama ia tidak merasakan tenang seperti pagi itu.
Hidupnya dulu penuh ambisi — pekerjaan, uang, kesenangan, semua dikejar tanpa henti. Tapi semakin banyak yang ia miliki, semakin hampa yang ia rasakan. Malam-malamnya sering dihabiskan dengan kegelisahan, bukan doa. Hingga suatu hari, kehilangan datang: ibunya meninggal tanpa sempat ia temui. Sejak saat itu, hidupnya terasa hancur.
“Mungkin ini teguran,” katanya pelan, waktu itu. Tapi teguran itu lama tak diindahkan. Ia masih berusaha mencari ketenangan di luar dirinya, hingga akhirnya kelelahan sendiri.
Suatu malam, tanpa alasan yang jelas, Arif mengambil air wudu. Tangan dan wajahnya gemetar ketika dinginnya air menyentuh kulit. Sudah bertahun-tahun ia tidak bersujud. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Dalam sujudnya, ia menangis lama — bukan karena sedih, tapi karena sadar betapa selama ini ia jauh dari Tuhan.
“Segala yang aku punya… semua milik-Mu, ya Allah,” bisiknya lirih. “Jangan biarkan aku tersesat lagi.”
Sejak hari itu, hidup Arif perlahan berubah. Ia mulai menata lagi hubungannya dengan Sang Pencipta. Setiap langkah kecilnya disertai doa, setiap kegelisahan dibalas dengan dzikir. Ia sadar, selama ini yang ia cari bukan keberhasilan dunia, tapi ketenangan hati.
Kadang masih ada rasa sesal, masih ada rindu pada masa lalu yang salah arah. Tapi kini ia tahu, penyesalan adalah bagian dari perjalanan pulang. Ia belajar untuk memaafkan dirinya sendiri.
“Kalau aku masih bisa hidup sampai hari ini,” katanya pada dirinya sendiri di depan cermin, “itu artinya Tuhan belum menyerah padaku.”
Ketika malam datang lagi, Arif berdiri di teras rumahnya. Langit bersih, penuh bintang. Di dadanya, ada keheningan yang hangat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik, “Allahu Akbar… Engkaulah tempat aku berteduh, dan hanya pada-Mu aku pulang.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arif benar-benar merasa damai.
Lagu ini ditulis oleh Franco Wellyjat Medjaja Kusumah.
Ungu - SurgaMu (Lirik)
Segala yang ada dalam hidupku
Kusadari semua milik-Mu
Ku hanya hamba-Mu yang berlumur dosa
Tunjukkan aku jalan lurus-Mu
Untuk menggapai surga-Mu
Terangiku dalam setiap langkah hidupku
Karena ku tahu
Hanya Kau Tuhanku
الله أكبر، Allah Maha Besar
Ku memuja-Mu di setiap waktu
Hanyalah pada-Mu tempat ku berteduh
Memohon ridha dan ampunan-Mu
Tunjukkan aku jalan lurus-Mu
Untuk menggapai surga-Mu
Terangiku dalam setiap langkah hidupku
Karena ku tahu (ha-aa)
Hanya Kau Tuhanku (hu-uu)
الله أكبر، Allah Maha Besar
Ku memuja-Mu di setiap waktu
Hanyalah pada-Mu tempat ku berteduh
Memohon ridha dan ampunan-Mu
Ho-oo
Wo-oo
الله أكبر، Allah Maha Besar
Ku memuja-Mu di setiap waktu
Hanyalah pada-Mu tempat ku berteduh
Memohon ridha dan ampunan-Mu
الله أكبر، Allah Maha Besar
Ku memuja-Mu di setiap waktu
Hanyalah pada-Mu tempat ku berteduh
Memohon ridha dan ampunan-Mu
Wo-oo







0 komentar:
Post a Comment