Ada hal-hal yang selalu kupahami sejak kecil: bunga akan layu, rumput akan mengering, dan daun akan menguning. Semuanya bergerak menuju akhir dengan cara yang pasti—pelan, tapi tak terhindarkan. Namun hanya malam itu aku benar-benar merasakan betapa cepatnya waktu mencuri.
Ruang tunggu rumah sakit itu terasa seperti perut jam besar yang berdetak pelan namun mengancam. Kursi-kursi besi memantulkan dingin yang menembus celana, dan suara AC berbunyi bagai napas panjang seseorang yang sedang menyembunyikan kecemasan.
Di ujung ruangan, aku duduk dengan tangan saling meremas, melihat pintu operasi yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, seseorang yang kucintai sedang berbaring tak bergerak—menyerahkan tubuhnya pada dokter, mesin, dan sesuatu yang tidak bisa disentuh oleh manusia: takdir.
Waktu, pikirku, benar-benar terasa seperti kutukan. Ancaman yang selalu datang tanpa mengetuk.
Satu per satu orang di sekitarku pergi—ada yang pindah kota, ada yang menjauh, ada yang meninggal. Namun malam ini… rasanya berbeda. Seperti dunia sengaja memberi peringatan khusus untukku.
“Oh, Tuan Kematian,” gumamku tanpa suara, “aku tahu aku tak bisa melawan. Tapi tolong… jangan hari ini.”
Aku tidak berdoa dengan metafora. Tidak ada diksi indah. Tidak ada puisi yang kubungkus rapi seperti biasanya.
Di ruangan hening ini, aku hanya manusia biasa yang takut. Takut pada sesuatu yang tidak bisa kuhadapi dengan logika.
Aku bersandar ke dinding, memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengakui bahwa aku benar-benar tidak siap.
Melihatmu masuk ke ruang operasi tadi… rasanya seperti ada seseorang yang merobek sebagian jiwaku lalu meletakkannya di meja bedah bersama tubuhmu. Setiap detik terasa panjang dan penuh ancaman, seolah waktu ingin mengingatkan bahwa ia berkuasa dan aku hanya penumpang sementara.
Aku berjanji, suatu hari nanti, aku akan belajar mengikhlaskan. Aku akan menerimanya. Aku akan berdamai dengan apa pun yang harus terjadi.
Namun tidak malam ini. Tidak saat aku masih bisa merasakan hangatnya tanganmu beberapa jam lalu. Tidak saat suaramu masih terdengar jelas memintaku untuk tidak cemas.
“Oh Tuan Kematian,” bisikku sekali lagi, “berikan kami satu hari lagi. Satu malam lagi. Satu pagi lagi.”
Pintu ruang operasi tetap diam, tak memberi jawaban. Tapi entah bagaimana, aku terus berharap.
Karena malam itu, di ruang tunggu yang dingin, aku bukan sedang meminta keajaiban besar. Aku hanya meminta waktu sedikit lebih lama.
Sungguh…
jangan hari ini.
Songwriters: Adnan Satyanugraha Putra/Baskara Putra/Dicky Renanda Putra/Fadli Fikriawan Wibowo/Kathleen Ivanka/Muhammad Erlangga A.N./Muhammad Luthfi Adianto/Rama Harto Wiguna.
.Feast - o,Tuan (Lirik)
Oh jelas aku tahu
Bunga akan layu
Rumput kan mengering
Daun kan menguning
Kau tahu menurutku
Waktu adalah
Kutukan
Ancaman
Bualan
Dan satu per satu
Orang sekitarku
Mulai ditinggalkan
Oh ini peringatan
Untukku, o Tuan
Wahai Kematian
Ku tak bisa melawan
Jamah perhentian
Berjanji kuikhlaskan dengan rela
Namun jangan hari ini
Melihatmu masuk ke dalam ruang operasi
Berdoa semalam suntuk
Di kamar yang hening
Tanpa metafora dan analogi
Kiasan berbelit diksi
Tanpa berbungkus fiksi
Aku takut
Untuknya, o Tuan
Wahai Kematian
Ku tak bisa melawan
Jamah perhentian
Berjanji kuikhlaskan dengan rela
Namun jangan hari ini







0 komentar:
Post a Comment