Mari berdendang & bernyanyi !

____

11/23/2025

Navicula - Zat Hujan Daun (Lirik)

Album Alkemis

Kota Batu Raya pernah dikenal sebagai kota paling teduh di negeri itu. Pepohonan menari di kiri-kanan jalan, akarnya memeluk tanah, dan rantingnya melindungi siapa pun yang berjalan di bawahnya. Orang-orang dari kota lain datang hanya untuk merasakan sejuknya angin yang melewati daun-daun rimbun itu, seakan mengusap wajah mereka dengan kasih.

Tapi itu dulu—kisah lama yang hanya tersisa dalam album foto tua.

Kini, Kota Batu Raya berubah. Langitnya keabu-abuan, panasnya menggigit, dan setiap sudut kota dipenuhi tumpukan gedung menjulang. Asap kendaraan mengebul tanpa henti, dan udara terasa berat di dada. Banyak warga yang mulai lupa seperti apa aroma daun basah sehabis hujan, atau suara angin yang melewati rerumputan.

Namun di tengah kota yang hampa hijau itu, ada seorang gadis bernama Selia. Setiap hari, Selia pergi ke taman tua di ujung jalan—satu-satunya tempat yang masih menyimpan sedikit warna hijau. Di sana berdiri sebuah pohon besar yang tampak lelah, tetapi tetap hidup.

Selia selalu menyapanya, seakan pohon itu adalah temannya sejak lama.

“Hijau kotaku… masih berseri, meski tinggal sedikit,” gumamnya sambil menyentuh kulit pohon yang retak-retak. “Payungi aku lagi ya, dari panas dan abu yang makin gila ini.”

Bagi Selia, pohon bukan sekadar tumbuhan. Ia adalah paru-paru kota, jantung kehidupan, dan saksi bisu cerita manusia.

Karena tanpa pohon, ia tahu… kota ini hanya akan menjadi deretan tiang besi dan bangunan. Dingin. Hampa. Mati.

Suatu hari, Selia terkejut melihat tanda merah di batang pohon itu: AKAN DITEBANG.

Ia memandangi huruf-huruf itu lama sekali. Seakan seseorang menulis vonis kematian untuk sahabatnya sendiri.

“Kenapa harus kamu lagi…?” ucapnya lirih.

Ia duduk di tanah, memeluk lututnya, dan membayangkan sesuatu yang membuat dadanya sesak: Berapa lama sebuah benih tumbuh menjadi pohon? Menghabiskan puluhan tahun memanjat langit, memperluas akarnya, memperkuat batangnya… Dan manusia menebangnya dalam hitungan menit. Seakan semua itu biasa saja.

Pohon hilang sudah menjadi hal biasa. Padahal, hilangnya satu pohon adalah hilangnya satu nyawa kota.

Malamnya, Selia mendapat ide aneh—tapi sekaligus indah.

“Andai… di masa depan… batu nisan kuburan diganti tumbuhan,” gumamnya sambil menatap langit yang tak berbintang. “Kalau aku mati nanti, aku ingin tubuhku jadi makanan bagi pohon yang baru.”

Ia tersenyum kecil. Baginya, hidup yang bermakna adalah hidup yang memberi. Dan kalau bisa memberi oksigen setelah mati… bukankah itu lebih baik?

Keesokan paginya, Selia kembali ke taman tua. Orang-orang mulai berdatangan karena mendengar kabar pohon itu akan ditebang. Tetapi yang mereka lihat adalah Selia berdiri di depan pohon itu—memeluk batangnya.

“Kalian tidak sadar?” serunya pada kerumunan. “Kota kita panas bukan tanpa alasan! Pohon dijadikan korban. Kita membiarkan paru-paru kota kita hilang satu per satu!”

Orang-orang saling memandang. Ada yang tersentuh, ada yang malu, ada pula yang mulai memahami bagaimana napas mereka bergantung pada daun-daun itu.

“Kalian tahu,” lanjut Selia, “zat hijau daun inilah yang mengambil racun dari udara. Mereka bekerja tanpa meminta imbalan, tanpa protes. Kalau mereka hilang… kita yang mati.”

Kalimat itu menyentak banyak orang.

Akhirnya, warga berkumpul. Mereka menandatangani petisi. Mereka berdiri mengelilingi pohon. Mereka melawan keputusan itu bersama-sama.

Dan hari itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, manusia memilih berpihak pada alam.

Pohon tua itu diselamatkan. Taman itu diperbaiki. Mereka menanam puluhan pohon baru, di trotoar, di halaman, di pinggir sekolah, atau di mana pun tanah masih bisa memeluk akar.

Kota Batu Raya perlahan berubah warna. Dari abu-abu menjadi hijau kembali.

Dan Selia, yang dulu hanya seorang gadis kecil yang bicara pada pohon… kini menjadi suara bagi seluruh kota.

Karena ia tahu: Jika manusia berhenti mencintai pohon, maka pohon akan berhenti memberi kehidupan.

Dan saat itu terjadi—yang tersisa hanya limbah, wabah, dan penyesalan.


Navicula - Zat Hujan Daun (Lirik)

Ahh.. hijau kotaku
Berseri wajahmu
Payungi diriku
Di panas dan abu

Tanpa pohon bisa kubayangkan
Hanya tiang besi dan bangunan
Zat hijau daun untung kau ada
Ayo ambil racun di udara

Ku.. ingin di kota
Bertambah pohonnya
Disayang manusia
Berdaun berbunga

Pohon paru-paru jantung kota
Kau redam polusi yang menggila
Zat hijau daun, untung kau ada
Segera ambil racun di udara

Pohon tebang biasa
Pohon hilang biasa
Coba bayangkan usia
Benih tumbuh, tumbuh jadi
Jadi pohon, pohon besar

Andai
Di masa depan
Nisan kuburan
Diganti tumbuhan

Tanpa pohon bisa kubayangakan
Hanya tiang besi dan bangunan
Zat hijau daun, untung kau ada
Ayo, ambil racun di udara

"..."

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Histats

Tags

Lirik (132) Lokal (68) Jepang (45) OST. Anime (34) Terjemahan / Translate (33) Barat (14) OST. Film (13) Korea (4) OST. Series/Drama (3) Thread (3) Latin (1)

New Post

Raisa - Bye-Bye | Lirik & Terjemahan

Raisa - Bye-Bye | Lyrics Hey Girl You know you're beautiful Where is the pretty smile that You've been hiding far too long...

Search