Malam itu Jogja tidak seperti biasanya. Angin dingin menusuk, membawa aroma asin dari peluh manusia dan kesedihan yang melayang-layang di antara gedung-gedung kota. Seolah alam sedang menangis, dan air matanya tertinggal di permukaan jalan yang retak. Arga berdiri di tepi trotoar, memandangi keramaian yang sibuk berlari dari sesuatu yang mereka sendiri ciptakan. Di langit, awan hitam menumpuk, bukan karena hujan—melainkan asap uap kimia yang perlahan menelan bintang-bintang.
“Jogja membeku…” gumamnya. “Dan kita yang membuatnya begini.”
Di sudut jalan, sebuah kamar kos berjeruji tampak penuh penghuni asing. Bukan manusia, tapi fauna kecil: tikus, kecoa, dan binatang liar yang tersesat akibat habitatnya lenyap diganti ruko-ruko baru yang menjual bunga plastik dan AC berfreon tinggi.
Flora yang dulu tumbuh bebas kini menjadi dekorasi toko. Hutan berubah katalog interior.
Dan di gedung-gedung bank, para ahli industri berbicara lantang tentang “kemajuan teknologi”—padahal teknologi itu merampas hidup para penghuni asli bumi, membuat etnografi alam hanya jadi buku babad yang tak lagi dianggap penting.
Di sepanjang jalan Malioboro, iklan modern menempel di setiap lampu. Trotoar baru yang lebar, deretan mobil listrik mewah, bahkan sebuah Tesla hitam melintas dengan pamer.
Namun semua itu kalah cepat tersalip oleh seekor kuda kereta yang ngos-ngosan, matanya sayu seperti memahami apa yang manusia tidak mau akui: kemajuan hanyalah kedok untuk kehancuran yang lebih cepat.
Lampu merah menyala. Di zebra cross, seorang pejalan kaki roboh tiba-tiba. Sesak napas. Efek polusi. Efek Rumah Kaca. Efek manusia.
Arga memandang langit yang semakin gelap meski matahari belum benar-benar tenggelam. Senja kehilangan kata. Malam tak punya cahaya. Siang hanya bayangan suram.
Kota ini dibungkam oleh asapnya sendiri.
Keesokan harinya, Arga bergabung dalam agenda gotong royong “kota bersih”—ironi pahit yang dirayakan pemerintah. Orang-orang menyapu, menanam beberapa pohon kecil, memungut sampah yang tak pernah berhenti diproduksi.
“Kita sedang menyusun neraka,” kata Arga pelan.
Seseorang menoleh. “Apa maksudnya?”
“Kita membersihkan sampah, tapi pabrik di ujung kota menghasilkan seribu kali lipat lebih banyak setiap jam.”
Orang itu terdiam. Karena itu fakta. Dan fakta itu menyesakkan.
Rumor mengatakan suatu hari nanti oksigen akan dijual seperti pulsa. Negara akan menetapkan harga O2, seperti menertawakan tragedi yang mereka biarkan tumbuh. Dan sementara itu, kebijakan terus bertamasya—membabat hutan, mengusir hewan, menenggelamkan desa demi proyek “masa depan”.
Pepohonan kalah. Burung-burung bernyanyi muram. Gunung tampak kecewa. Laut menatap manusia dengan dingin, seolah sudah lama ingin menelan semuanya.
Malam itu, badai aneh muncul di atas kota. Langit berwarna merah, seperti luka terbuka.
Layar-layar digital di seluruh Jogja tiba-tiba menampilkan berita: “Kudeta Alam Raya: Kutub Utara Mulai Meleleh Total.”
Arga berdiri di tengah jalan, menyaksikan asap mengepul dari pabrik-pabrik yang terus bekerja, meski dunia sedang menuju kehancuran. Pabrik itu seperti monster, menghembuskan uap panas yang mengepung kota.
Kemudian terdengar bunyi keras.
Buuuuummm.
Gunung di utara memuntahkan asap. Laut di selatan naik empat meter dalam beberapa jam. Burung-burung terbang rendah, seperti ketakutan.
“Ini sudah terlalu jauh…” bisik Arga.
Dan di tengah kekacauan itu, manusia justru menari—bukan tarian bahagia, melainkan tarian kebiasaan buruk yang menghancurkan alam raya.
Membuang sampah. Menghisap plastik. Mengabaikan peringatan. Mengganti pepohonan dengan beton.
Tarian penghancur raya.
Arga memejamkan mata, merasakan bumi bergetar pelan di bawah kakinya. Bukan gempa. Melainkan degup bumi yang sedang marah.
“Siarkan kabar kehancuran,” katanya lirih. “Karena kita sendiri yang menyalakannya.”
Lalu ia melangkah menuju pusat kota—tempat manusia, alam, dan bencana bertemu dalam satu tarian yang tak bisa dihentikan lagi.
Tarian penghancur raya.
Songwriters: Rayhan Noor/Dicky Renanda/Adrianus Aristo Haryo/Adnan Satyanugraha Putra/Fadli Fikriawan/Daniel Baskara Putra/Wisnu Ikhsantama
.Feast - Tarian Penghancur Raya (Lirik)
Mata dan peluh yang asin
Perlahan dihapus angin
Jogja yang beku mendingin
Menari menghancurkan alam raya yang kecewa
Dibuatnya malapetaka
Kamar berjeruji berpenghuni bersafari berbagai fauna
Flora kerasukan freon di ruko toko bunga
Bank ahli industri teknologi
Etnografi produksi menggurui penghuni asli
Berbicara cepat bilang haram
Kearifan lokal yang dibungkam
Tuli pada yang belajar alam
Mati sesak nafas tengah malam
Trotoar lebar, bahan hijau, Tesla
Kalah cepat disalip kuda Asia
Tewas di lampu merah, garis zebra
Efek Rumah Kaca tiba-tiba suddenly di mana-mana
Uap terlontar mengepung kota
Berlomba ciptakan plastik kita
Saat senja kehabisan kata
Siang malam pun gelap gulita
Kerja bakti menyusun neraka
Kita miliki bahan bakarnya
Perihal waktu tunggu datangnya
O2 dijual oleh negara
Oh, terima kasih 'kan usahanya
Sedotan besi, plastik cycle tiga
Pun pepohonan tak berkuasa
Lawan kebijakan yang bertamasya
Burung bersiul malapetaka
Gurun menatap dingin manusia
Laut dan pegunungan kecewa
Kudeta besar alam semesta
Siarkan kabar penelan surya
Meleleh matikan kutub utara
Amalkan tarian penghancur raya
Kobarkan tarian penghancur raya
Kobarkan tarian penghancur raya
Kobarkan tarian penghancur raya







0 komentar:
Post a Comment