Senja belum habis, tapi dunia seperti sudah menyalakan lampu mimpi. Di tepian pantai itu, angin berdesir membawa riuh tawa ombak yang pecah di karang. Bayangan-bayangan halus tampak menari di cakrawala: siluet mirip manusia, tertawa tanpa suara, mengajak, menggoda — seolah berkata, “ikuti kami ke arah angin bertiup.”
Orang-orang menyebutnya maya, fatamorgana yang muncul ketika langit sedang bermain mata dengan laut. Namun bagi Arta, pemuda yang berdiam di perahu kecilnya, bayangan itu terasa seperti panggilan. Bukan untuk tersesat—melainkan untuk menjadi dirinya sendiri.
“Jangan takut berbeda,” ia bergumam, mengingat kata-kata ayahnya dulu, seorang pelaut tua yang percaya kebebasan adalah arah kompas terakhir dalam hidup. “Orang yang diam mengikuti arus tak pernah tiba ke pulau impian.”
Di sampingnya, seorang gadis berdiri—mata bening seperti laut pagi, rambut digesek angin. Namanya Risha, satu-satunya yang percaya mimpi Arta. Mereka sudah terlalu lama terikat pada daratan yang menghakimi tawa, langkah, bahkan cara bermimpi. Di sini, di antara layar dan angin, suara mereka jadi nyata.
“Jika dunia tak mendengar,” kata Arta, “biarkan aku jadi suaramu. Dan kau, jadi suaraku.”
Risha tersenyum—bukan senyum ringan, tapi yang lahir dari luka-luka yang sudah selesai menangis.
Mereka mendorong perahu, air mencium ujung kaki, garam menggigit bibir. Ombak mengangkat mereka, terburu angin, menuju garis tipis antara keberanian dan ketakutan.
Di lautan luas, hanya ada dua hal: keyakinan dan badai. Dan badai sedang datang, gelap memanjang seperti lidah raksasa menelan matahari. Tapi keduanya tak gentar. Karena mereka tidak sedang melarikan diri dari dunia — mereka sedang menuju versi lain dari dunia, di mana manusia tidak diukur dari kemiripan, tetapi dari keberanian menjadi dirinya sendiri.
“Apa kau siap?” tanya Arta.
Risha mengangguk, mengencangkan tali layar. Mata mereka beradu — bukan janji, bukan kata cinta, tapi kesepakatan sederhana: kita bergerak karena hidup tak untuk diam.
Di balik awan hitam, mereka yakin ada cahaya. Di balik cakrawala, ada tanah baru bagi hati yang bebas. Suara laut menjadi irama, layar mengembang, dan mereka melaju—bukan hanya menembus ombak, tetapi menembus batas diri.
Dan saat badai mengaum, Arta berbisik pelan, suara yang bercampur angin: “Biarkan aku jadi suara kebebasanmu. Dan kau… suara kebebasanku.”
Perahu kecil itu meluncur ke gelap, memberi satu pelajaran pada dunia: Kadang, suara paling lantang lahir dari dua manusia yang memilih jalan yang tidak dipilih banyak orang—karena kebebasan bukan tujuan. Ia adalah keberanian untuk berlayar.
Lagu ini ditulis oleh Gede Robi Supriyanto.
Navicula - Modern Mantra (Lirik)
Maya-maya menari gaya
Inginkan kita ikut mereka
Jaya kita bila tak tertawa
Hey jangan takut jadi berbeda
You
are all I want
are all I am
Let me be the voice of
You
are all I want
are all I am
Let me be the voice of you..
Hanya laut dan matahari
Kapal kita jelajah bumi
Kayuh cepat badai kan datang
Dia tunggu kita di seberang
You
are all I want
are all I am
Let me be the voice of
You
are all I want
are all I am
Let me the voice of you
"..."
You
are all I want
are all I am
Let me be the voice of
You
are all I want
are all I am
Let me be the voice of
Let me be the voice of
Let me be the voice of
Let me be the voice of
Freedom...
"..."







0 komentar:
Post a Comment