Aku tak pernah menyangka, menunggu seseorang bisa terasa seperti menahan napas terlalu lama—sampai dada sesak, dan dunia perlahan memudar warnanya. Selama berbulan-bulan, aku bertahan demi cinta yang dulu begitu meyakinkan. Aku mengira kesetiaan adalah kunci, dan waktu akan membawa jawaban. Setiap hari aku menulis pesan yang tak terkirim, menyiapkan kata-kata yang tak pernah sempat kuucapkan, berharap ia akan membalas walau hanya dengan satu kalimat pendek: “Aku kangen juga.”
Tapi hari berganti hari, tak ada apa-apa selain sunyi.
Awalnya aku berusaha maklum.
Lalu aku mulai menunggu.
Setelah itu aku bertahan.
Dan pada akhirnya… aku menggenggam sesuatu yang bahkan sudah hilang: harapan yang membusuk perlahan.
Suatu malam, hujan turun cukup deras. Aku duduk di teras rumah, menatap layar ponsel yang tetap kosong. Bukan karena baterainya habis, tapi karena seseorang yang dulu kupikir tak akan pernah pergi… tak lagi ingin menulis apa pun untukku.
Angin basah menerpa pipiku, tapi anehnya, bagian yang paling dingin justru dadaku.
Pelan-pelan, aku mulai sadar:
Cinta yang kutunggu tak pernah benar-benar datang kembali.
Bukan karena aku tidak cukup, bukan pula karena aku kurang berjuang.
Tapi karena cintanya memang sudah tidak ada sejak lama.
Apa arti menunggu kalau yang kutunggu sudah pergi bahkan sebelum aku sadar?
Aku memejamkan mata, membiarkan bayangannya muncul di benakku. Dulu, dialah segalanya—nama yang pertama muncul saat aku bangun tidur, dan satu-satunya wajah yang ingin kulihat sebelum mata ini tertutup malam.
Dulu.
Hanya dulu.
Kini aku mengerti. Aku menunggu cinta yang tak lagi sama, sementara ia bahkan tak berusaha mencarinya kembali. Aku menahan diri untuk tetap percaya, sedangkan ia bahkan tak mencoba memberi tanda bahwa aku masih penting.
Dan malam itu—di tengah suara hujan yang memecah sepi—ada sesuatu yang berubah dalam diriku.
Bukan karena aku marah.
Bukan karena aku kecewa.
Tapi karena hatiku… akhirnya menerima kenyataan yang sudah lama kutolak.
Aku tidak perlu lagi menunggu seseorang yang tak memilihku.
Ponselku bergetar tiba-tiba.
Bukan namanya.
Hanya notifikasi biasa.
Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak merasa kehilangan. Aku tidak lagi berharap itu dia. Tidak lagi menyesali apa pun.
Rasanya seperti membuka jendela setelah sekian lamanya ruangan terkunci. Udara segar masuk pelan-pelan, dan aku bisa bernapas kembali.
Hatiku tidak lagi penuh oleh dirinya.
Tidak lagi penuh oleh penantian.
Yang tersisa kini hanyalah ruang—ruang untuk memulai, ruang untuk sembuh.
Aku berdiri, menatap langit yang mulai mereda hujannya.
Asmara tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berganti tempat.
Dan malam itu, tempat yang dipilihnya adalah… kembali kepadaku.
Untuk pertama kalinya sejak lama, aku tersenyum kecil—tanpa menunggu siapa pun lagi.
Raisa - Apalah (Arti Menunggu) | Lirik
Telah lama aku bertahan
Demi cinta wujudkan sebuah harapan
Namun ku rasa cukup ku menunggu
Semua rasa tlah hilang
Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak cinta lagi
Namun ku rasa cukup ku menunggu
Semua rasa tlah hilang
Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak cinta lagi
Dahulu kaulah segalanya
Dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
Namun sekarang aku mengerti
Tak perlu ku menunggu sebuah cinta yang sama
Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak cinta lagi
Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak cinta lagi







0 komentar:
Post a Comment