Hujan turun pelan sore itu, seperti mencoba menenangkan riuh di dalam dadaku. Aku duduk di bangku taman yang dulu sering kita datangi—tempat di mana tawa kita dulu menggema, dan rencana-rencana masa depan pernah kita lukis dengan penuh keyakinan.
Kini, semuanya terasa jauh. Kau, yang dulu selalu menggenggam tanganku erat, kini bahkan tak lagi menatapku sama. Tatapanmu dingin, seolah aku hanya bagian kecil dari cerita panjang hidupmu yang ingin kau lewati secepat mungkin.
“Kenapa semuanya berubah?” bisikku pelan, nyaris tak terdengar. Tak ada jawaban, hanya angin yang lewat membawa sisa-sisa kenangan.
Aku dulu mengira aku tegar. Aku percaya bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya. Tapi nyatanya, diam dan jarak jauh lebih tajam dari perpisahan itu sendiri. Kau menepikan aku perlahan, seperti seseorang menutup buku lama tanpa sadar bahwa di dalamnya masih ada kisah yang belum selesai.
Mimpi yang dulu kita ukir bersama—tentang rumah kecil, kebun di belakang, tawa anak-anak—semuanya kini terasa seperti lukisan yang warnanya memudar. Aku berusaha bertahan, tapi bahkan kesetiaan punya batas ketika ia tak lagi disambut.
Maka, dengan napas panjang dan mata yang mulai basah, aku belajar berkata pada diriku sendiri: Mungkin ini waktunya berhenti.
Bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku tahu, memaksa sesuatu yang telah retak hanya akan membuat luka lebih dalam. Lebih baik kita akhiri di sini—sebelum cinta yang indah berubah jadi kenangan yang pahit.
Aku masih akan menunggumu… tapi tidak selamanya. Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang seberapa lama kita bertahan, tapi tentang seberapa berani kita melepaskan, saat tahu tak ada lagi yang bisa diselamatkan.
Aku percaya, cinta tak akan membuatku jera. Sekalipun kini perih, aku yakin suatu hari aku akan mencintai lagi—tanpa takut kehilangan, tanpa harus menunggu yang tak pasti.
Dan sore itu, saat hujan berhenti, aku pun berdiri. Melangkah pergi dari taman itu dengan hati yang ringan meski basah oleh air mata. Karena aku tahu, beberapa kisah memang tidak diciptakan untuk bertahan selamanya—tapi untuk mengajarkan kapan harus berhenti dengan bijaksana.
Lagu ini ditulis oleh Raisa Andriana dan Haris Pranowo.
Raisa - Usai Di Sini (Lirik)
Pedih nyatanya yang tak terjawab
Mampu menjatuhkanku yang dikira tegar
Kau tepikan aku, kau renggut mimpi
Yang dulu kita ukir bersama
Seolah aku tak pernah jadi bagian besar dalam hari-harimu
Lebih baik kita usai di sini
Sebelum cerita indah tergantikan pahitnya sakit hati
Bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti
Ku kan menunggu, tapi tak selamanya
Kau tepikan aku, kau renggut mimpi
Yang dulu kita ukir bersama
Seolah aku tak pernah jadi bagian besar dalam hari-harimu
Seolah janji dan kata-kata yang telah terucap kehilangan arti
Lebih baik kita usai di sini
Sebelum cerita indah tergantikan pahitnya sakit hati
Bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti
Ku kan menunggu tapi tak selamanya
Tak akan jera kupercaya cinta
Manis dan pahitnya kan kuterima
Kini kisah kita akhiri dengan makna
Lebih baik kita usai di sini
Sebelum cerita indah tergantikan pahitnya sakit hati
Bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti
Ku kan menunggu, tapi tak selamanya
Ku kan menanti
Tapi tak selamanya







0 komentar:
Post a Comment