Fajar merekah perlahan, seolah Tuhan menyapu sisa gelap yang menggantung di ujung malam. Cahaya pertama menyentuh tanah basah, menghadirkan kilau halus di antara dedaunan. Udara masih dingin, tapi hangat mentari mulai merambat pelan, seperti sentuhan lembut yang membangunkan dunia.
Alya berdiri di atas bukit kecil itu, membiarkan embusan angin membelai wajahnya. Sudah lama ia tidak merasakan ketenangan seperti ini. Bertahun-tahun ia dikelilingi hiruk-pikuk kota, kesibukan yang memaksa jiwanya tak berhenti berlari. Namun di sini—di tempat sederhana yang jauh dari keramaian—waktu seakan berjalan lebih lambat.
“Sudah berapa lama aku lupa rasanya bahagia tanpa sebab?” ia membatin.
Hijau hamparan ladang membentang luas, biru lautan berkilau di kejauhan, berpadu bagai lukisan yang dianugerahkan langsung dari langit. Burung berkicau, ombak saling menyapa tepi pantai, dan pepohonan bergoyang lembut… semuanya terasa hidup. Tenang. Damai.
Ada sesuatu di sini yang mengembalikan ingatan purba—seakan jiwa Alya pernah merasakan surga yang diceritakan sejak kecil: tempat Adam dan Hawa pertama kali membuka mata dan melihat dunia dengan kagum.
“Mungkinkah ini…” ia berbisik. “Beginilah rasanya ketika manusia pertama tercipta?”
Bukan karena tempat ini sempurna. Tetapi ketenangan itu nyata, tulus, sederhana. Tidak ada keramaian mengejar. Tidak ada suara yang menuntut. Tidak ada ambisi yang memaksa.
Hanya alam, keheningan, dan hati yang kembali mengenal dirinya sendiri.
Alya duduk di atas rerumputan, merasakan bumi yang lembut di bawah telapak tangannya. Ia memejamkan mata, menikmati setiap detik keindahan yang terasa seperti doa yang berwujud nyata. Ada senyum kecil di bibirnya—bukan senyum yang dipaksakan untuk kamera, tapi senyum yang muncul karena hatinya benar-benar utuh.
“Kalau ini bukan surga,” ia bergumam pelan, “maka surga barangkali bukan tempat… melainkan rasa.”
Di sela hembusan angin, ia merasakan kerinduan lain—kerinduan pada cinta. Pada pelukan yang lama hilang. Pada belaian yang membuat dunia terasa lengkap. Mungkin kelak seseorang akan berjalan menapaki bukit ini bersamanya. Mencintai tanpa gaduh. Membahagiakan tanpa perlu bukti.
Namun bila takdir memilih jalan berbeda? Bila perannya di dunia hanya sebatas ini?
Alya tidak lagi takut.
Karena pada hari itu, di tempat itu, ia telah merasakan apa yang dicari semua manusia seumur hidup: kedamaian. Syukur. Ketenteraman yang menyentuh jiwa sedalam-dalamnya.
Ketika matahari naik lebih tinggi dan sinarnya menghangatkan kulitnya, Alya membuka mata dan tersenyum.
“Aku bahagia… dan itu cukup.”
Suatu hari ia akan pergi. Semua manusia akan. Tapi bukan kesedihan yang tinggal—melainkan rasa terima kasih, karena pernah diberi kesempatan merasakan sepotong surga sebelum kembali pulang.
Navicula - Jiwan Mukti (Lirik)
Fajar menjelang, mengganti malam
Sebersit cahaya di dalam kelam
Ceria yang hilang, terurai kembali
Enggan tuk pergi kubahagia di sini
Hijau daratan, biru lautan
Hangat mentari sejuk rembulan
Rasanya dulu, pernah kualami
Mungkin saatnya itu kembali
Inikah dia, inikah surga..
Surga di dunia..
Ku tak percaya..
Teringat kembali, masa dunia
Saat ayah dan bunda tercipta
Cerita tentang, sebuah surga
Yang selalu dipuja dirindukan tiba
Inikah dia, inikah surga
Surga di dunia
Aku percaya
"..."
Setiap waktu, aku menunggu
Lembut belaian kekasih pujaan
Hijau daratan, biru lautan
Hangat mentari sejuk sang bulan
Aku bahagia, aku bersuka
Setulus jiwa abadi selamanya
Walau pun nanti aku kan pergi
Saat peranku di sini telah usai
"..."







0 komentar:
Post a Comment