Di sebuah desa kecil yang dikelilingi bukit hijau, ada sebuah rumah sederhana yang selalu terbuka untuk siapa pun. Orang-orang menyebutnya Rumah Jiwa, tempat di mana semua orang dianggap saudara — tanpa peduli darimana mereka berasal.
Suatu sore, seorang pemuda bernama Alaric berdiri di depan rumah itu. Ia datang dari kota jauh, membawa perasaan gelisah yang sudah lama menumpuk. Dunia yang ia lihat semakin penuh perbedaan, seolah manusia terlahir untuk berseteru.
Namun, begitu ia melangkah masuk, dunia itu mendadak terasa berbeda.
Anak-anak dari berbagai suku dan warna kulit berlarian di halaman, saling tertawa tanpa rasa curiga. Seorang lelaki tua dengan rambut memutih duduk di beranda, tersenyum lembut pada siapa pun yang melintas.
“Selamat datang,” ucap lelaki tua itu. “Di sini, kita hanya memiliki satu pikiran: bahwa kita semua adalah saudara.”
Alaric tertegun. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti hembusan angin yang membangunkan hatinya yang lama tertidur.
“Apakah ini… hanya mimpi?” tanyanya.
Lelaki tua itu menggeleng pelan. “Bukan. Ini obsesi sejati — keinginan untuk melihat manusia hidup tanpa batas—tanpa sekat suku, warna, atau keyakinan.”
Alaric berjalan masuk, mengamati dinding rumah yang dipenuhi foto-foto orang dari berbagai belahan dunia. Di bawah setiap foto tertulis satu kalimat: "Kita semua keluarga."
“Apa pun yang terjadi di luar sana,” lanjut lelaki itu, “semuanya dimulai dari kita sendiri. Jika satu hati berubah, esok akan lahir ratusan pikiran yang sama.”
Alaric mulai merasakan sesuatu dalam dadanya. Sesuatu yang lama ia lupakan — harapan.
Malam hari, mereka duduk melingkar tanpa memandang siapa lebih tua, siapa lebih kaya, siapa lebih suci. Tak ada perbedaan. Hanya manusia. Hanya jiwa.
“Lihatlah,” kata lelaki tua itu sambil menunjuk langit malam. “Ayah kita sama. Kita semua anak dari dunia yang sama. Keluar dari rahim — kita semua saudara.”
Di saat itu, Alaric benar-benar merasakannya. Bahwa keluarga tidak hanya tentang darah. Keluarga adalah siapa pun yang berbagi kasih, siapa pun yang menjaga bumi, dan siapa pun yang menolak membangun tembok pemisah.
“Mulai hari ini,” bisik Alaric, “aku ingin menjadi bagian dari keluarga ini. Keluarga jiwa. Tanpa batas.”
Lelaki tua itu tersenyum. “Begitulah seharusnya manusia hidup. Hanya dengan satu pikiran: kita semua saudara.”
Dan malam itu, di bawah langit luas yang menaungi siapa pun tanpa pilih kasih, Alaric merasakan dirinya menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar — keluarga yang tidak terbatas oleh apa pun.
Navicula - Keluarga Tanpa Batas (Lirik)
Ada satu pikiran
Kita satu saudara
Keluarga manusia
Keluarga tak terbatas
Mung-kin-, ini seperti mimpi
Ta-pi-, ini obsesi sejati
Coba dimulai saja
Dari kita sendiri
Esok pasti tercipta
Pikiran seperti kita
Hing-ga-, terbentuk rasa kasih
Tan-pa- suku, warna, religi
Dan, selangkah lebih maju
Kita semua setuju
Ayah kita serupa
Dan kita semua anaknya
Keluar dari rahim, sau-da-ra-
Sem-mua-nya-
Jadilah bagian, keluarga jiwa
Tan-pa- batas-san
Sau-da-ra..
Sem-mua-nya..
Jadilah bagian-.. keluar-ga- ji-wa
Tan-pa- batasan







0 komentar:
Post a Comment